Recent

Contact ASWA

Name

Email *

Message *

Muslimah Dalam Mainstream Modernitas

Sunday, May 5, 2013
Muslimah Dalam Mainstream Modernitas

Muslim Women Conversation



Oleh : Syaifullah Muhammad

Delapan belas anak perempuan secantik bidadari belum sebanding dengan seorang anak laki-laki bongkok. Demikian sebuah Pribahasa kuno China mendeskripsikan sosok perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Suatu minorisasi perempuan yang sangat kasar. Konghucu mengatakan, “ada dua manusia yang sulit diatur, pertama turunan orang rendahan dan yang kedua adalah perempuan”.

Ternyata China bukan satu-satunya yang berpandangan dengan ekspresi kebencian sedemikian rupa pada perempuan. Orang Yahudi misalnya, dalam do’a keseharian mereka, ucapan “Terpujilah engkau Tuhan, yang tidak menciptakan aku sebagai perempuan”, adalah suatu hal yang senantiasa menghiasi lafaz pada bait-bait ucapan mereka. Lalu Aristoteles, filosof Yunani terkenal mengatakan bahwa Perempuan adalah mahluk yang belum selesai diciptakan. Dalam tradisi Hindu, hati perempuan digambarkan sebagai hati srigala. Dalam tradisi barat yang Kristen, perempuan yang sedang menstruasi adalah seorang iblis yang dapat merusak lingkungan.

Di dataran Arabia sendiri—sebelum kedatangan Muhammad Rasulullah—perempuan mengalami perlakuan yang setara dengan perlakuan untuk binatang. Umar bin Khattab mengatakan “Pada zaman jahiliyah kami tidak pernah memberikan hak apapun kepada perempuan, sampai Allah menurunkan perintah yang penting buat mereka dan memberikan kepada mereka bagian yang tepat”. Kehadiran Islam kemudian, ternyata telah menjadi lokomotif utama pembebasan kaum perempuan dari ketertindasan yang sama sekali tidak manusiawi.

                Islam muncul dengan merombak hampir seluruh main stream dunia tentang perempuan. Ketika hak-hak perempuan dirampas, ketika perempuan dikatakan manusia dengan derajat yang rendah, ketika perempuan semata-mata hanya dijadikan sebagai objek, islam justru mengemukakan ‘Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memellihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar’ (QS. 33:35).

                Islam memperkenalkan konsep kesetaraan dan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan. Bahkan menurut nabi seorang ibu (perempuan) tiga kali lebih utama daripada ayah (laki-laki). Ibnu Al-‘Arabi mengatakan, mencintai perempuan berarti juga mencintai tuhan. Islam memperkenalkan bahwa manusia hanya dibedakan oleh kualitas kerja (amal), bukan oleh wajah, harta, pangkat apalagi oleh jenis kelamin. Namun anehnya, belakangan ini justru di negara-negara Islam, persoalan perempuan banyak disorot dengan tajam. Beberapa institusi yang diidentikkan dengan Islam dijadikan legitimasi untuk mendiskriditkan Islam dalam persoalan perempuan.

                Lihatlah misalnya, institusi Harem dan purdah, sistem poligami yang diperkenankan oleh syariat dan lain sebagainya. Agaknya sorotan itu cukup mampu menimbulkan image negatif terhadap Islam. Maka dengan apriori, Islam sering dituduh sebagai penyebab kemunduran peran-peran sosial perempuan. Sehingga sering kita dengar bahwa bila satu negara menjadi negara islam, maka tindakan pertama yang dilakukan penguasa adalah merumahkan perempuan dan mengisolasinya dari kehidupan orang banyak kecuali dalam rumahnya. Dan dengan sendirinya—ditambah dengan propaganda yang menggunakan perangkat-perangkat teknologi media dan komunikasi—citra Islam yang semula adalah pembebas kaum perempuan dari ketertindasan berbalik menjadi penindas utama kaum perempuan. Suatu hal yang sangat ironis.

Kekeliruan Interpretasi dan Kecaman Barat

                Kristalisasi nilai Islam yang terwarisi selama puluhan generasi itu justru telah menjadi bagian instrinsik Islam yang tidak mungkin terbantahkan bagi orang-orang tertentu. Padahal kristalisasi nilai itu sendiri pada dasarnya tidak murni turun dari dogma teologis. Atau minimal suatu nilai teologis yang telah diinterpretasikan sedemikian rupa untuk menjustifikasi keangkuhan patriarkis dari beberapa orang saja. Terutama orang yang sangat diuntungkan dengan penomorduaan kaum perempuan. Keuntungan ini telah menyebabkan penguasa mengakui pranata-pranata yang menjerat perempuan tersebut sebagai bagian dari legalitas teologis Islam.

                Sebenarnya Interpretasi dogma islam yang cenderung menomorduakan perempuan, tidak semata muncul karena kekeliruan penafsiran. Sebab secara tekstual interpretasi tersebut memang sulit untuk ditolak. Ambillah contoh, QS. 2:228, “Kaum laki-laki (suami) satu derajat lebih tinggi dari pada mereka (istri)”. Lalu pada ayat lain, “Laki-laki adalah pemimpin dari perempuan”. Kemudian hadist nabi“kebanyakan peghuni neraka adalah perempuan (HR. Bukhari-Muslim dari Ibn Abbas)”, “Perempuan adalah makhluk yang memiliki kekurangan  akal dan agama, kesaksian perempuan sama dengan setengah kesaksian pria (HR. Bukhari-Muslim dari Ibn Sa’id al-Khudri)”. “Perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, bila diluruskan ia akan patah (HR. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah). Belum lagi mitos-mitos yang berkembang, seperti perempuan itu makhluk yang lemah, banyak menggunakan perasaan (walaupun kenyataannya banyak juga perempuan yang lebih tidak berperasaan dibandingkan laki-laki) dan sebagainya.

                Tentu saja redaksional teks suci di atas sulit untuk tidak mengarah pada pensubordinatan perempuan terhadap laki-laki. Ujung-ujungnya interpretasi tekstual tersebut telah dianggap sebagai pandangan yang sebenarnya Islam, terhadap perempuan. Tentu saja dalam posisi ini kaum muslimah sendiri menjadi skeptis terhadap ajaran-ajaran Islam, walaupun tidak sedikit juga yang permisif dan menerimanya sebagai kehendak dari tuhan—bahwa perempuan adalah makhluk kelas kedua.

                Maka kesimpulanpun diambil (terutama dikalangan masyarakat barat), bahwa seluruh ajaran agama menempatkan perempuan pada posisi yang sulit. Ekspansi pemahaman bahwa seluruh agama mendiskriditkan perempuan hampir tidak mungkin dihindari. Agama selalu diidentikkan dengan keterbelakangan dan tidak rasional. Penolakan terhadap agama mencapai puncaknya di barat ketika mereka memproklamasikan lahirnya gerakan modernisme. Gerakan yang bermula dari pemberontakan terhadap agama ini dibangun pada tiga pilar utama, rasionalisme, antropocentrisme dan sekularisme. Pilar yang ternyata mampu membius hampir seluruh dunia—melalui imperialisme epistemologisnya—untuk berpandangan negatif terhadap agama.

                Islam mendapat kecaman yang luar biasa dari dunia menyangkut hal ini, tidak lain karena sampai saat ini mayoritas masyarakat muslim masih setia mempertahankan nilai-nilai agamanya. Padahal banyak ajaran agama di luar Islam gagal menjawab berbagai kebutuhan zaman. Barat sendiri yang menjadi ikutan dan rujukan berbagai bangsa, memproklamirkan bahwa kemajuan yang mereka peroleh tidak mungkin ada bila mereka setia dengan ajaran agamanya.

Perbudakan Perempuan Modern

                Pemberontakan mereka terhadap pandangan-pandangan agama dan berbagai diskriminasi yang dialami akibat budaya lokal, menggiring kaum perempuan—dan juga beberapa laki-laki—melahirkan sebuah gerakan untuk memperjuangkan hak-hak persamaan antara laki-laki dan perempuan, gerakan yang belakangan populer dengan feminisme. Gerakan ini memperoleh sambutan yang luar biasa di seluruh dunia—terutama di barat dan beberapa negara muslim—sebagai pahlawan yang memperjuangkan kaum perempuan. Perempuan menuntut kesetaraan hampir disegala bidang dengan laki-laki. Perempuan harus diperkenankan terlibat dalam aktivitas-aktivitas ekonomi, sosial dan budaya sebagaimana kaum laki-laki.perempuan harus dibebaskan dari ‘penjajahan’ kaum laki-laki. Gerakan ini semakin hebat terasa hingga Futuris kondang John Naisbitt dan Patricia Aburdene tidak punya alternatif selain mengatakan era dominasi perempuan pada masa-masa yang akan datang.

                Sayang sekali, gerakan bagus ini telah menjurus pada totalitas yang brutal. Perempuan menjadi liar, perilakunya tidak terkontrol. Maka lahirlah perempuan petinju, pegulat, pengangkat besi dan sebagainya. Gerakan yang semula ingin membebaskan perempuan dari ‘perbudakan domestik’ ternyata telah menjerumuskan perempuan dalam perbudakan baru. Perempuan dieksploitasi dengan mempertontonkan keindahan daging mereka, tanpa mereka ‘sempat’ sadari (mungkin banyak juga yang sadar dieksploitasi). Hampir seluruh aktivitas mereka, sektor ini sangat ditonjolkan. Lagu-lagu misalnya, hampir tidak ada yang tidak disertai dengan tarian yang mendebarkan. Iklan mobil belum sah bila tidak disertai perempuan dengan pakaian minim di sebelahnya. Rokok tidak mentereng bila belum diselipkan pada bibir-bibir yang seronok.

                Kalau kita pikir, mengapa pakian olah raga perempuan sangat minim-minim. Sementara pesenam pria berpakaian yang menutupi seluruh tubuh—meskipun masih ketat—perempuannya justru berpakaian minim sekali. Terlalu banyak sebenarnya yang bisa dikemukakan, keadaan baru yang telah memperbudak mereka. Ironisnya perempuan sendiri banyak yang tidak menyadarinya, atau mereka dalam posisi tidak ada pilihan lain. Sebagian karena mereka telah ‘disuap’ dengan material yang melimpah. Mereka rela dizalimi, demi kenikmatan di dunia material. Pada dataran ini barangkali benar apa yang dikatakan oleh Ali Bin Abi Thalib, “kezaliman hanya terjadi karena kerjasama antara orang yang dizalimi dengan yang menzalimi”.

Feminisme Islam

                Dalam keadaan yang seperti itu, Islam kembali dengan jalan tengah-nya. Feminisme yang berkembang di Islam memberi warna yang agak lain. Seperti dulu ketika orang-orang muslim mengembangkan modernisasi Islam, yang walaupun modernisme sendiri lahir di barat, tapi modernisme islam—dari tinjauan intelektual—memberi dampak yang sama sekali berbeda dibandingkan dengan modernisme barat. Feminisme Islam sama sekali tidak menjurus pada brutalitas perempuan dengan mengorbankan kodratnya. Feminisme Islam justru mengecam keras perempuan yang tidak mengerti posisinya sebagai muslimah, yang memperjualbelikan keindahan tubuhnya kepada yang tidak berhak, yang menentang otoritas suami sebagai kepala rumah tangga dan sebagainya. Feminisme Islam menuntut perempuan sebagai anak, istri, ibu dan anggota masyarakat yang berimbang.

                Namun feminisme Islam juga tidak membenarkan perempuan terjebak dalam sekat-sekat domestik yang sempit, diskriminasi dalam kehidupan sosial politik. Feminisme Islam melakukan interpretasi kembali terhadap teks-teks suci yang kebanyakan diinterpretasikan secara tekstual semata. Feminisme Islam menerapkan interpretasi secara ma’nawiyyah (kontekstual) disamping lafzhiyyah (tekstual).

                Menelaah kembali secara mendalam dan melakukan interpretasi secara kontekstual ini ternyata mampu membuka mata kita bahwa islam memang agama yang tidak membeda-bedakan manusia. Dalam Islam, manusia hanya dibedakan dari kualitas amalnya. Terlalu banyak dogma suci Islam lainnya yang memuliakan kaum perempuan. Selain yang telah dikemukakan di atas, bukankah Allah juga mengemukakan bahwa “kalian (laki-laki dan perempuan) Kuciptakan dari zat yang sama..(QS. 4:1) kalian kuciptakan berpasang-pasangan..., dan sesungguhnya yang termulia disisi-Ku adalah yang paling baik taqwanya”, “Dan perlakukanlah mereka (perempuan) dengan hormat (QS. 4:19). Nabi berkata, “Yang paling baik diantara kallian adalah yang bersikap paling baik kepada istrinya”.

                Dengan mempergunakan metode Plato, Dr. Marwah Daud menguraikan dengan sangat menarik konsep kesetaraan laki-laki—perempuan. Laki-laki dan perempuan seperti sepasang sepatu. Yang tentu saja sangat tidak tepat bila menganggap bahwa sepatu kanan lebih mulia dari sepatu kiri—atau sebaliknya—dan kemudian sepatu kanan saja yang disemir dan dikilatkan. Sesuatu yang berpasangan tidak mungkin untuk dibandingkan secara terpisah-pisah. Mereka akan cacat bila dipisahkan. Konsep berpasangan, menunjukkan adanya saling ketergantungan  dan saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Itu sebabnya Allah mengatakan “Dan orang-orang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian meraka menjadi penolong bagi sebagian yang lain” (QS.9:71).

                Kesetaraan dan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan dalam pandangan Islam, ternyata tidak hanya berada pada wilayah filosofi saja. Pada wilayah praksis, ternyata juga tidak sedikit yang dicatat sejarah. Semasa Rasulullah masih hidup, perempuan-perempuan muslimah mengalami kebebasan dan kemewahan dalam hidupnya. Perempuan tidak dilarang bekerja profesional. Contoh sederhananya adalah Zainab binti Jahsy. “...perempuan yang paling panjang tangannya diantara kita adalah Zainab, sebab ia bekerja dengan tangannya sendiri dan bersedekah (HR. Muslim dari Aisyah).

Perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam menuntut ilmu, berbisnis, berjihad den sebagainya. Nama-nama seperti Khadijah binti Khuwailid, Fathimah Az-Zahra, Aisyah, ‘Atikah binti Zaid (Istri Umar bin Khattab), Ummu Harram binti Milhan, Ummu Hani’, Hindun, Ummu Aiman, Zainab, Hafshah binti Umar, Ummu Ya’qub, Ummu Darda’ dan masih banyak lagi, adalah perempuan-perempuan perkasa yang dicatat sejarah memiliki akses besar dalam kehidupan sosial politik di masanya.

                Setelah Rasulullah tiada, nasib perempuan kembali menyedihkan. Keangkuhan patriarkhis beberapa kalangan aristokrat dinasti Umayyah telah melahirkan institusi Harem dan Purdah sebagai simbol pengucilan perempuan dari peran-peran sosialnya. Kecenderungan mempertahankan figh yang banyak menguntungkan laki-laki sulit untuk dihindari karena hampir seluruh fuqaha pasca rasul adalah laki-laki. Yang tentu saja karena keterbatasan gender, tidak mungkin memahami perempuan secara menyeluruh.

                Gerakan feminisme islam dilakukan dengan mereevaluasi kembali pemahaman kita tentang teks-teks suci. Yang sedapat mungkin menjadi kristalisasi nilai dan menjadi ideologi perjuangan dengan keyakinan penuh—bahwa ia adalah legalitas teologis yang valid. Tentu saja melahirkan pemahaman teologis yang radikal dan cenderung progresive ini bukanlah suatu persoalan yang sederhana. Ia harus menjadi bagian yang tertanam dalam, pada pusat religiusitas umat. Dan proses penanaman itu—tidak ada jalan lain kecuali—melalui pendidikan dengan segala perangkatnya.

Pendidikan Keluarga dan Tipologi Muslimah 

                Salah satu sarana pendidikan ini adalah melalui pendidikan yang sangat dini, yaitu keluarga. Keluarga, dalam pandangan Sachiko Murata—dalam terminologi Tao—adalah perpaduan antara yin danyang, perpaduan antara laki-laki dan perempuan, antara suami dan isteri yang kemudian berkembang menjadi ayah dan ibu, dan terintegrasi dalam proses perkawinan makrokosmik. Keluarga dalam bahasa Al-Qur’an, adalah sarana untuk mencapai kearifan dan ketenangan jiwa (QS. 7:189).

                Dalam suasana kearifan dan ketenangan jiwa tersebut diharapkan lahir dan berkembang generasi penerus yang memiliki keutuhan dan ketahanan psikologis yang mantap. Meminjam bahasa prof. Dr. Zakiah Darajat, pembenahan generasi muda tidak mungkin tanpa pendekatan psikologis—pendekatan psiko agamis.

                Pendekatan ini semakin urgen, mengingat proses transformasi nilai tidak lagi dominasi keluarga. Dengan semakin derasnya penetrasi informasi dan menggiring pada penjajahan epistemologis asing. Bila saja pertahanan psikologis anak tidak memadai, maka nilai-nilai asinglah yang akan menguasainya. Dalam psiko analisa disebutkan bahwa karakter akan terbentuk pada usia-usia dini, dan itu terjadi dalam keluarga. Dalam hal ini orang tua memiliki peranan utama.

                Karena itu orang tua harus memahami makna dari sebuah keluarga secara mandasar sebagai wahana dalam perjalanan pengabdian tanpa batas pada Sang Khalik. Menbentuk sebuah keluarga dengan menjauhkan mitos-mitos sesat—dari budaya atau interpretasi nilai agama yang keliru—terutama dalam persoalan kesetaraan laki-laki dan perempuan.

                Dengan sendirinya seluruh elemen keluarga harus dioptimalkan ke arah itu. Beberapa metode yang dapat dipergunakan diantaranya: pertama memberi contoh baik secara konstan dan simultan yang menjadi prilaku hidup sehari-hari. Kedua, memberi motivasi dengan bahasa-bahasa yang sugestif dan merangsang kratifitas berfikir kearah keutuhan tauhid, kesatuan kemahakuasaan tuhan. Tentang ajaran-ajaran Islam yang luas, tentang perspektif kebenaran yang multi dimensi, tentang kesiapan untuk berbeda dengan orang lain dan sebagainya. Dan termasuk dalam hal ini menelaah nilai-nilai islam yang menyangkut kesetaraan manusia—laki-laki dan perempuan. Walaupun tentu saja hal ini harus ditindaklanjuti dengan proses pendidikan yang lebih kompleks. Ketiga, memfasilitasi dengan bacaaan-bacaan dan perlengkapan transfer nilai yang memadai. Dan keempat, melakukan filterisasi terhadap nilai-nilai yang merusak. Kesemua metode ini harus dilakukan dengan prinsip-prinsip akomodatif dan tidak anarkis.

                Kesatuan pandangan terhadap tujuan penciptaan kosmos—yang termasuk penciptaan laki-laki dan perempuan di dalamnya—yang berakhir pada penghambaan pada ilahi, akan melahirkan manusia (muslimah) dengan daya tahan psikologis yang luar biasa. Dalam kondisi ini terpaan mainstream negatif dari modernitas akan terasa sebagai beban yang ringan saja. Pada gilirannya para muslimah akan mudah memperkokoh jati dirinya sebagai perempuan-perempuan yang perkasa—modern tapi tidak brutal dan taat pada nilai/tradisi tapi tidak ketinggalan zaman. Tipologi yang seperti ini menurut saya yang harus dikembangkan oleh perempuan-perempuan muslim dewasa ini.

                Dengan demikian perjalanan seorang perempuan mulai dari anak, isteri, ibu dan anggota masyarakat senantiasa dihiasi oleh penegasan identitasnya sebagai perempuan muslim. Sehingga sebagai anak ia taat pada orang tua. Sebagai isteri ia setia pada suami. Sebagai ibu ia berkewajiban menjaga dan mendidik anaknya. Dan sebagai anggota masyarakat ia turut menentukan transformasi sosial yang terjadi. Kesemuanya dilakukan dalam suasana bebas dan ikhlas—karena itu telah menjadi bagian dari realitas keperempuanannya.




[Submitted by Syaifullah Muhammad]





Demikianlah Artikel, Photo/video Muslimah Dalam Mainstream Modernitas

Sekianlah artikel Muslimah Dalam Mainstream Modernitas kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan atau update yang selanjutnya, semoga berkenan.

Anda sekarang membaca artikel/nonton Muslimah Dalam Mainstream Modernitas dengan alamat link lengkap http://www.acehsociety.org/2013/05/muslimah-dalam-mainstream-modernitas.html

1 comment:

  1. Most drawback gambling councils are nonprofits funded by casinos, lotteries and sportsbooks. In nearly every one of the 33 state legislatures that have legalized sports gambling, the bills mandated the gambling operators themselves provide funding for drawback gambling councils. Mike pushes for her opinion, so Brown sidesteps by mentioning a number of the} issues which are be} most typical to drawback gambling. Is gambling enjoyable and entertaining, or a compulsion that you just turn into preoccupied with? She'll sometimes tell individuals examine out|to take a look at} Gamblers Anonymous' 20-question survey, which covers a number of the} identical subjects and features a assertion that most all} drawback gamblers reply yes to seven or more questions. Within 30 days after the event, the organization shall submit a financial report that lists all the receipts and expenditures 코인카지노 for the Casino Night event.

    ReplyDelete