Recent

Contact ASWA

Name

Email *

Message *

Pesan Untuk Pemimpin Muslim

Thursday, May 23, 2013
Pesan Untuk Pemimpin Muslim


Oleh : Syaifullah Muhammad

---------------------------------------------------------------
Untuk para pemimpin :

"Orang kafir sesungguhnya adalah orang yang arogan dan penguasa yang menindas, merampas, melakukan perbuatan salah dan tidak menegakkan yang ma’ruf, tetapi sebaliknya membela yang munkar"
--------------------------------------------------------------

Dalam perang uhud, kaum muslimin mengalami kekalahan besar. Paman Nabi yang juga seorang panglima perang Islam yang gagah, Hamzah, Syahid disana. Nabi sendiri mangalami luka-luka yang serius. Yang sangat mengecewakan Rasullullah Muhammad SAW adalah kenyataan banyaknya sahabat yang melarikan diri dari medan pertempuran. Padahal melarikan diri dari perang adalah suatu perbuatan dosa besar. Beberapa sahabat melarikan diri ketempat istri-istrinya, namun istri-istri mereka melemparinya dengan tanah. Beberapa yang lain melarikan diri ke sekitar Bukit Uhud bahkan ada yang lebih jauh lagi.

Setelah tiga hari sahabat-sahabat itu kembali menemui Rasul Muhammad SAW di mekkah. Untuk ukuran kemanusiaan, dapat dibayangkan bagaimana sedihnya hati junjungan kita itu. Perang uhud telah menewaskan orang-orang yang dikasihinya. Kaum muslimin menderita kekalahan yang sangat besar. Beliau sendiri mengalami luka dan hanya dikawal oleh delapan orang sahabat saja. Sedangkan yang lain melarikan diri. Lazimnya, ketika yang melarikan diri kembali, hukuman berat pasti ditimpakan atas mereka. Atau setidaknya mereka akan menerima kemarahan nabi.

Pesan Untuk Pemimpin Muslim


Namun, kenyataan yang dihadapi sungguh diluar perkiraan. Nabi menyambut mereka dengan senyum. Tanpa kata-kata keras apalagi kasar. Ini adalah suatu sikap yang luar biasa bagi seorang pemimpin. Bersikap lemah lembut dan ramah mungkin tidak terlalu sulit bila kondisi bathin kita sedang bahagia. Namun bersikap demikian dalam suasana kekecewaan yang berat adalah luar biasa dan tidak mungkin dilakukan oleh manusia biasa kecuali dengan Rahmat Allah. Al-Qur’an mengabadikan peristiwa ini dan menguraikannya secara lebih detil ‘Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka , mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan dunia. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya’ (QS. 3:159).

Bagi kaum muslim bahkan beberapa orang barat yang melakukan berbagai penelitian, perilaku Muhammad SAW sungguh sangat mempesona. Will Durant misalnya, yang telah menulis berpuluh jilid Story of Civilization –Sejarah Peradaban—dengan informasi yang sampai kepadanya—tentu saja informasi yang sangat terbatas—mencoba melukiskan kebesaran Muhammad. “Jika kita mengukur kebesarannya dengan pengaruh, maka Muhammad adalah raksasa dalam sejarah. Ia lebih berhasil dibandingkan dengan setiap pembaharu manapun. Ketika ia datang, Arabia adalah padang pasir yang dihuni para penyembah berhala, ketika ia wafat, Arabia adalah suatu ummat”.

Michael Hart, sarjana barat lainnya, dalam bukunya tentang 100 tokoh paling berhasil di dunia, menempatkan Muhammad SAW pada urutan pertama. Berbagai orang berusaha melukiskan keagungan Muhammad. Namun, apakah itu telah merupakan representasi bagi pribadi Rasullullah Muhammad SAW?. Ternyata tidak lukisan itu ibarat setetes air di tengah lautan saja. Sehingga Dr. Ahmad Muhammad al-Hufy dalam menulisMin Akhlaq an-Nabiy mengatakan, “ Ya Rasulullah, junjunganku. Apakah kata-kata yang tak berdaya ini mampu mengungkapkan ketinggian dan keluhuranmu?. Apakah penaku yang tumpul ini dapat menggambarkan budi pekertimu yang mulia?. Bagaimana mungkin setetes air sanggup melukiskan samudra yang luas?. Bagaimana mungkin sebutir pasir akan mampu menggambarkan gunung yang tinggi?. Bagaimana mungkin sepercik cahaya akan dapat bercerita tentang matahari?. Sejauh yang dapat dicapai oleh sebuah pena, hanyalah isyarat tentang keluhuran martabatmu, kedudukanmu yang tinggi dan singgasanamu yang agung”.

Muhammad SAW adalah pemimpin di segala lapangan kehidupan. Ia adalah seorang imam yang membimbing umatnya di mesjid. Ia adalah pemimpin yang sangat mengasihi dan menjadi teladan dalam keluarganya. Ia adalah seorang panglima perang yang tangguh, yang selalu berada digaris terdepan pada setiap pertempuran. Ia adalah seorang psikolog yang mampu mengembalikani jiwa-jiwa masyarakat kepada kehanifan. Ia adalah sosiolog yang selalu berhasil menyelesaikan problema-problema sosial. Dan ia juga seorang politikus ulung yang mampu mempersatukan masyarakat yang sangat majemuk dengan strateginya yang bernilai tinggi. Nicholson dalam A Literary History of Arabs, memberi komentar terhadap Piagam Madinah yang dibuat oleh Muhammad yang oleh banyak ahli dianggap Undang-Undang Negara Islam yang pertama, “Tidak ada seorang penelitipun yang tidak terkesan pada kejeniusan politik penyusunnya. Muhammad SAW tidak menyerang secara terbuka independensi suku-suku tersebut, tetapi memusnahkan pengaruhnya dengan mengubah pusat kekuatan dari suku ke masyarakat”.

Kepemimpinan muhammad juga terwarisi kepada beberapa sahabatnya sampai batas-batas dan rentang waktu tertentu. Namun dewasa ini dunia Islam memang mengalami krisis pemimpin. Seperti komentar Philip Stoddard dalam pertemuan Islamologi di Syracuse University pada tahun 1981, “ Kebangkitan Islam sekarang ini tidak akan menimbulkan pengaruh besar, sebab umat Islam tidak memiliki pemimpin yang efektif yang mampu menimbulkan gerakan pembaharuan sosial “.

Terlepas dari komentar yang barang kali juga mengandung kelemahan ini, realitas dunia Islam memang menunjukkan hal tersebut. Bahkan kehancuran Islampun telah dibuktikan oleh sejarah banyak disebabkan oleh pemimpinnya yang bobrok.

Untuk mengharapkan akan tampil kembali pemimpin sekaliber Muhammad SAW mungkin sesuatu yang utopis. Namun, Muhammad adalah sumber inspirasi dan contoh konkrit, dari sifat-sifat pemimpin yang kita butuhkan. Bila selama ini kita senantiasa melirik pada teori-teori barat tentang General Leadership, teori-teori managemen dari Peter Drucker—sang maestro managemen--, teori-teori politik dari Sun Zu atau Machievalli misalnya, maka ada baiknya kini kita juga mencoba menggali model kepemimpinan dan menagemen sekaligus strategi politik Muhammad.

Sebelumnya, harus diingat bahwa Muhammad SAW tumbuh dari seorang anak pengembala kambing yang buta huruf. Namun memiliki potensi kecerdasan yang luar biasa. Apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Muhammad sebagian besar adalah atas petunjuk dan pengajaran Allah melalui jibril sebagai pengantar wahyu (QS. 36:1-6). Jadi meninjau kepemimpinan Muhammad berarti juga meninjau prinsip-prinsip kepemimpinan yang tercantum di dalam Al-Quran. Sebab Muhammad adalah Al-Qur’an yang berjalan.


Pesan Untuk Pemimpin Muslim




Sifat Pemimpin Muslim

Dalam terminologi Al-Qur’an, disebutkan “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya “. Ini adalah kriteria pemimpin yang sangat minimal namun sekaligus sebagai kriteria pokok, bahwa pemimpin harus bertanggung jawab, minimal terhadap dirinya sendiri. Setiap orang adalah pemimpin bagi dirinya sendiri sebab ia memang harus me-manage potensi kemanusiaan yang telah melekat padanya berupa akal, nafsu dan dhamir (hati nurani). Tapi tidak setiap orang dapat menjadi pemimpin terhadap orang lain. Sebagai contoh, Nabi Ibrahim, baru akan diangkat sebagai Imam (Pemimpin) umat manusia, setelah ia mangalami berbagai ujian. Ketika Ibrahim memohon kepada Allah agar keturunannya juga dapat menjadi pemimpin, Allah memperkanankannya dengan syarat mereka tidak zhalim (QS. 2: 124).

Jadi Islam membuat kriteria, bahwa seseorang boleh menjadi pemimpin umat bila ia telah teruji. Islam tidak membenarkan pemimpin karbitan yang muncul hanya karena kebetulan orang tuanya memiliki posisi yang kuat. Budaya nepotisme dalam kepemimpinan harus dihilangkan atau setidaknya diminimalisir menjadi sekecil mungkin. Maka seseorang baik untuk menjadi pemimpin sebuah oraganisasi misalnya, setelah ia mengalami berbagai kepahitan dalam organisasi tersebut. Dan pemimpin tidak boleh bersikap dan berprilaku zhalim. Yang hanya mementingkan diri sendiri dengan menindas orang lain. Yang memperkaya diri dengan mengambil hak rakyat banyak. Yang menyunat dana kemanusiaan bencana alam, yang menggelapkan dana negara, yang suka melakukan pungutan liar diluar peraturan, yang menerima suap dan sebagainya. Rasulullah Muhammad selalu mengajarkan agar kita jujur dan memihak kepada kaum lemah, miskin dan tertindas. Kepada Aisyah istrinya beliau berpesan, “Wahai Aisyah, cintailah orang-orang miskin dan bergaullah dengan mereka, tentu Allah akan dekat dengan engkau pada hari kiamat “.

Islam mensyaratkan seorang pemimpin yang adil, jujur, dan ikhlas sebab Islam adalah agama keadilan ynag menjunjung tinggi kejujuran dan keihklasan (QS. 5:8). Bahkan keadilan juga harus diterapkan meski terhadap orang kafir sekalipun (QS. 5:42). Pemimpin Islam adalah orang yang tidak memihak selain pada kebenaran. Dalam pandangan seorang pemimpin, manusia harus ditempatkan sesuai dengan harkat kemanusiaannya. Tidak ada beda antara arab dengan bukan arab (lihat hadist nabi ketika Haji Wada’ dalam musnad imam Ahmad bin Hanbal, vol. V, h. 411), antara aceh dengan batak, jawa dan sebagainya. Apalagi antara Aceh Utara dengan Pidie, Aceh Barat, Selatan dan sebagainya, sebagai contoh lainnya. Orang yang perfikir primordial seperti ini sama sekali tidak bisa dipercaya menjadi pemimpin yang baik. Pemimpin Islam harus berfikir nonsektarian dalam semangat egaliterianisme yang tinggi, karena manusia hanya dibedakan oleh tingkat ketakwaannya (QS. 49:13).

Pada dataran yang lebih praktis, kriteria pemimpin juga ditunjukkan oleh QS. 3:159 di atas. Pertama, seorang pemimpin harus siap menerima kekecewaan betapapun beratnya kekecewaan yang ditimbulkan oleh orang yang dipimpinnya. Dan dalam kondisi itu sanggup untuk tidak marah bahkan harus bersikap lemah lembut. Ali bin Abi Thalib mengatakan “Aku belum pernah menemukan minuman yang lebih manis dan lezat selain menelan kemarahan”. Hal ini memang hanya bisa dilakukan dengan adanya rahmat Allah. Karena itu pemimpin muslim adalah orang yang integritas kesalehannya baik. Orang yang telah mampu meng-Up Grade hatinya menjadi lembut, tidak keras. Untuk membuat hati yang lembut ini nabi memberi petunjuk dengan cara membaca al-Quran, shalat malam dan melakukan puasa. Hati yang lembut ini menyebabkan seorang pemimpin mampu memaafkan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dipimpinnya. Bahkan memohon ampun kepada Allah atas kesalahan mereka tersebut.

Kedua, seorang pemimpin harus mampu melakukan musyawarah. Islam tidak menghendaki pimimpin otoriter yang tidak menghargai pendapat orang lain. Pemimpin Islam harus siap untuk berbeda pendapat dan siap menerima pendapat lain kalau itu memang dianggap demi kemaslahatan orang banyak. Dan juga sanggup menerima kritikan. Dalam pidato pengangkatannya sebagai khalifah, Umar bin Khatab mengatakan “wahai kaum muslimin, bagaimana sikap kalian seandainya aku cenderung kepada kesenangan duniawi?, Sesungguhnya aku takut seandainya berbuat salah tetapi dari kalian tidak ada seorangpun menentangku karena hormat kalian kepadaku. Maka permintaanku, bantulah kalau aku berbuat baik dan perbaikilah bila aku berbuat jelek”. Diantara hadirin yang mendengar ternyata ada yang  menjawab secara spontan “Demi Allah wahai Amir al Mikminin, kalau kami melihat anda bengkok, maka akan kami luruskan dengan pedang-pedang kami”. Dengan sabar dan arif umar menjawab “Semoga Allah sayang kepada kalian, dan segala puji bagi Allah bahwa diantara kalian ada yang berani mengoreksi Umar dengan pedangnya”. Dalam kitab Mutiara Nahjul Balaghah, Ali bin Abi Thalib mengatakan “Sarana kepemimpinan adalah dada yang lapang”. Namun, karena kritik juga ada yang dimaksudkan untuk menjatuhkan, maka kritik yang diterima adalah kritik yang tulus untuk menuju kebaikan.

Ketiga, seorang pemimpin harus berani mengambil keputusan  (tekad yang bulat) dalam kondisi apapun dan bila keputusan telah diambil, maka ia harus bertawakkal. Tawakkal adalah menyerahkan semua hasil akhir kepada Yang Maha Kuasa setelah perjuangan dilakukan secara maksimal sesuai dengan potensi kemanusiaan yang ada. Tawakkal tidak identik dengan pasrah yang pasif tanpa upaya maksimal. Pasrah seperti itu hanya menyiratkan ketidak berdayaan dan keputusasaan. Tawakkal berarti juga konsistens dengan keputusan yang telah diambil yang tentu saja berorientasi pada kebenaran. Dengan bahasa lain Islam mengecam seorang pemimpin yang plin-plan, bersikap hany demi keuntungan yang diperolehnya semata.



Manajemen Muhammad

Kriteria lain pemimpin Islam, diberikan teladannya oleh nabi dan sejarah hidupnya, yaitu pemimpin Islam harus memahami strategi perjuangan. Dalam peristiwa hijrah misalnya, mengandung pelajaran strategi yang cukup tinggi. Dimulai dengan mengirim mata-mata ke rumah sesepuh Quraisy yang bernama Qushai, dimana dilakukan rapat Mala’—forum pimpinan-pimpinan klan suku—yang telah mengambil keputusan untuk membunuh Muhammad. Kemudian Rasul menyuruh Ali Bin Abi Thallib untuk memakai jubah hijaunya dan tidur di tempat tidiur nabi untuk mengelabui musuh. Muhammad juga minta bantuan Abu Bakar sebagai teman seperjalanan, meminta Asma dan Aisyah putri Abu Bakar –menyiapkan perbekalan, dan juga meminta bantuan seorang guide yang bernama Abdullah bin Arqat—seorang yang masih kafir –sebagai penunjuk jalan, karena rute yang dilalui untuk hijrah adalah rute yang tidak lazim dilalui oleh para kafilah. Abdullah putra Abu Bakar diperintahkan menjadi mata-mata dikota Makkah yang telah dipagar betis oleh Quraisy, dan melaporkannya kepada Nabi di Gua Tsur tempat persembunyian sementara nabi. Selain itu bantuan juga dimintakan dari Amir bin Hurairah, untuk mengembalakan ternaknya disiang hari dan melewatkan ternak tersebut didepan Gua menjelang senja untuk mengaburkan jejak.

Pemimpin harus pandai memanfaatkan potensi yang ada padanya dan sekelilingnya. Dalam hijrah nabi mempergunakan potensi sahabatnya, mempergunakan uang untuk membayar guide, mempergunakan unta sebagai kendaraan, mempergunakan metode (strategi) dalam hijrah dengan mengambil rute yang tidak lazim, bersembunyi dahulu di dalam gua dan sebagainya, rasul juga menjanjikan suatu kehidupan yang lebih baik ketika sampai di Madinah (bandingkan dengan manajemen organisasi modern terhadap man, money, machine, methode and market-5M).

Dalam mencapai tujuan, nabi memberi contoh bahwa hal tersebut harus direncanakan secara matang. Rencana hijrah telah disusun nabi jauh-jauh hari sebelum hari H, sehingga sejak awal Abu Bakar telah mempersiapkan dua ekor unta yang dibelinya. Bahkan setiap kali Abu Bakar bertanya kapan hijrah di lakukan, nabi selalu menjawab ‘jangan tergesa-gesa’. Melalui hijrah nabi juga mengajarkan bahwa tugas-tugas tidak bisa seluruhnya dilakukan sendiri. Maka harus ada pembagian tugas dan pendelegasian kepada orang-orang tertentu. Ada yang mempersiapkan kendaraan, makanan, menjadi umpan untuk mengelabui musuh, menjadi mata-mata dan sebagainya. Dan informasi tidak boleh putus, laporan tetap dilakukan kepada nabi ditempat persembunyiannya di Gua Tsur untuk menyusun strategi berikutnya (bandingkan dengan fungsi manajemen modern yang dikenal dengan planing, organizing, actuating, and controllling – POAC). Bahkan dalam hijrah nabi memperlihatkan bahwa bekerja sama dengan orang non Islam pun tidak menjadi persoalan, selama orang tersebut diyakini tidak membahayakan perjuangan untuk kemaslahatan ummat. Karena itu kerja sama antar bangsa yang berbeda agama, ras, suku dan sebagainya tidak menjadi persoalan, selama kerja sama itu tidak menimbulkan pihak yang di rugikan.

Pada dataran tertentu, mengalah pada persoalan yang tidak prinsipil sangat diperlukan dalam pencapaian tujuan. Misalnya saja kisah penandatanganan perjanjian Hudaibiah. Saat itu nabi menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk menulis naskah perjanjian yang dimulai dengan kata “dengan nama Allah yang maha pengasih dan maha penyayang”, tiba-tiba wakil dari Qurasy Suhail bin Amr, memotongnya dengan mengatakan bahwa ia tidak mengenal sifat-sifat maha pengasih dan maha penyayang tersebut. Suhail kemudian menawarkan teks itu dirubah dengan bunyi ‘Dengan nama-Mu ya Tuhan’. Walaupun semua sahabat merasa jengkel, namun nabi memerintahkan Ali untuk mengikuti apa yang dikemukakan Suhail. Selanjutnya nabi mendiktekan ‘berikut ini adalah perjanjian antara Muhammad Rasulullah dan Suhail bin Amr’. Lantas, Suhail kembali menyela ‘kalau aku menerima teks ini berarti aku mengakui kamu hai Muhammad sebagai utusan Allah’. Suhail meminta teks tersebut diganti dengan ‘Muhammad bin Abdullah’. Umar bin Khatab yang pada saat itu juga hadir kelihatan sangat marah namun sekali lagi nabi meredamnya dan memerintahkan Ali untuk menulis apa yang diinginkan oleh Suhail.

Sikap lunak seperti ini bukan berarti Islam tidak membenarkan sikap tegas. Ketegasan tetap dibolehkan bahkan dianjurkan apabila memang diperlukan terutama terhadap golongan yang ingkar (kafir). ‘Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka’ (QS. 9:73). ‘Janganlah menaruh belas kasihan kepada keduanya, mencegah kamu untuk menegakkan hukum Allah’ (QS. 24:2). Menyangkut kata-kata kafir ini menarik kita mengutip tulisan Asghar Ali Engineer dalam Islam dan Pembebasan. “Kata kafir merupakan kata yang sering disalah artikan. Selama ini ia selalu digunakan dalam pengertian yang formal sekali. Sesungguhnya kata kafir dalam Al-Quran merupakan istilah yang fungsional, bukan formal. Orang kafir sesungguhnya adalah orang yang arogan dan penguasa yang menindas, merampas, melakukan perbuatan salah dan tidak menegakkan yang ma’ruf, tetapi sebaliknya membela yang munkar’. Dengan demikian dikalangan Islam sendiri ada juga yang kafir, yaitu yang ingkar terhadap hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya. Terhadap orang-orang seperti ini sikap keras juga dibenarkan untuk dilakukan. Namun—menurut saya—hal tersebut tetap sebagai alternatif terakhir ketika pendekatan-pendekatan secara lemah lembut sudah tidak memungkinkan lagi.

Terakhir, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang menguasai bahasa dan kebutuhan kaumnya. Keberhasilan Muhammad salah satunya disebabkan beliau sangat memahami bahasa kaumnya. Setiap kata-katanya senantiasa menyentuh hati dan otak umatnya. Dengan kata lain seorang pemimpin juga harus merupakan orator ulung yang memahami bagaimana pesan-pesan harus di transfer kepada bawahannya. Seorang pemimpin dituntut untuk akrab dengan masalah-masalah orang yang dipimpinnya. Dengan bahasa managemen modern, seorang pemimpin harus memiliki human relation yang baik.

Mungkin uraian di atas dapat memberi sedikit gambaran tentang kriteria pemimpin dalam Islam. Walaupun pasti masih terlalu sedikit bila dibandingkan dengan profil Muhammad sebagai pemimpin yang sebenarnya. Perspektif Islam terhadap kepemimpinan ini sangat penting, mengingat dewasa ini orang sangat cenderung untuk mempraktekkan pola kepemimpinan barat, yang pada dataran tertentu sebenarnya menjurus pada brutalitas keinginan. Sehingga tidak terlalu salah bila gambaran umum terhadap politik adalah kotor. Politik menjadi kotor karena yang diterapkan bukan politik Muhammad Rasulullah yang sarat dengan nuansa ilahiah. Yang dipraktekkan adalah politik yang menghancurkan. Politik yang memiliki prinsip ‘kemenangan terbesar adalah menghancurkan pasukan lawan’. Yang dalam istilah Dr. M. Amin Rais—ketua umum PP Muhammadiyah—disebut dengan—low politic (politik tingkat rendah). Kenapa kita tidak merubahnya dengan kemenangan terbesar adalah ‘mematahkan ide perang dari lawan’ dan bukan menghancurkan lawan. Ali bin Abi Thalib kembali mengingatkan ‘Kuasailah musuhmu dengan kebajikan, itulah yang paling manis diantara dua kemenangan’. Inilah yang disebut Amin Rais sebagai high politic (politik tingkat tinggi). Hanya dengan cara inilah keberpihakan Allah kepada kita dapat diperoleh. Dan kalau Allah sudah berpihak kepada kita, siapakah yang mampu menyainginya?

Prinsip-prinsip diatas seharusnya menjadi ideologi bagi pemimpin muslim yang tertanam dalam pada pusat kesadaran religiusitasnya. Ia harus mampu menjadi kekuatan sugestif yang menjadi pengontrol dari praktek-praktek kepemimpinan. Strategi politik siapapun boleh saja dipelajari, apakah strategi Sun Tzu, Machievalli, bahkan strategi Mao Zedong, Hitler atau Stalin sekalipun. Namun yang menjadi pengontrol dari kebrutalan politik tersebut adalah nilai-nilai kita sendiri. Nilai-nilai ilahiah yang terpatri jelas pada profil Muhammad sebagai profesor managemen dan politik. Brutalitas politik disebabkan oleh keinginan yang tidak terkendali. Karena itu Ali bin Abi Thalib menasehati, “Sebaiik-baik kekayaan adalah menghilangkan banyak keinginan”.




[Submitted by Syaifullah Muhammad]


Demikianlah Artikel, Photo/video Pesan Untuk Pemimpin Muslim

Sekianlah artikel Pesan Untuk Pemimpin Muslim kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan atau update yang selanjutnya, semoga berkenan.

Anda sekarang membaca artikel/nonton Pesan Untuk Pemimpin Muslim dengan alamat link lengkap http://www.acehsociety.org/2013/05/pesan-untuk-pemimpin-muslim.html

No comments:

Post a Comment